30.7 C
Jayapura
Wednesday, October 4, 2023

Tambah Anggaran Kesehatan Rp 75 Triliun

Pemerintah Keluarkan Perppu Redam Dampak Covid-19

JAKARTA, Jawa Pos – Pemerintah terus mencari upaya untuk memitigasi dampak Covid-19. Salah satunya dengan menerbitkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Kemarin (2/4), pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yasonna H Laoly menyerahkan perppu tersebut ke DPR untuk dilakukan pembahasan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pandemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan. Namun juga berpotensi besar menciptakan krisis ekonomi dan krisis keuangan. Sehingga pemerintah menyiapkan langkah ekstra untuk mencegah timbulnya krisis tersebut. ’’Dalam rangka itulah perppu ini hadir,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.    

Disampaikan, perppu difokuskan bagi penyelamatan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat Covid-19. Sehingga anggaran bidang kesehatan menjadi prioritas. Selain itu juga disiapkan stimulus sektor ekonomi untuk membantu dunia usaha dan UMKM.

Di bidang kesehatan, ada tambahan anggaran Rp 75 triliun. Dana tersebut, jelas Sri Mulyani, dipergunakan untuk tambahan pembelian alat-alat kesehatan termasuk alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Pihaknya juga akan meng-upgrade 132 rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19 di seluruh Indonesia.

Anggaran Rp 75 triliun juga termasuk untuk insentif bagi tenaga medis. Perinciannya, insentif dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan. Dokter umum Rp 10 juta per bulan dan perawat Rp 7,5 juta. Selain itu, ada juga santunan kematian seluruh tenaga medis yang gugur sebesar Rp 300 juta per orang.

“Dana ini akan disalurkan melalui BNPB sebagai koordinator gugus tugas penanganan Covid-19,” papar Sri Mulyani.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan semua pihak harus bersinergi dalam memitigasi persebaran virus korona. Disampaikan, DPR memang mengingatkan pemerintah agar menyiapkan Perppu untuk mengakomodir program-program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan publik. Mulai dari perlindungan sosial, melindungi kelompok masyarakat rentan serta menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi. ’’Perppu ini segera kami bahas sesuai mekanisme di alat kelengkapan dewan,” jelas Puan Maharani.

Sementara itu, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, penerbitan Perppu tersebut membawa angin segar di tengah badai Covid-19. ‘’Cukup komprehensif, holistik, fokus, dan terukur. Perppu ini sangat jelas dan kuat menunjukkan respon cepat dan tepat atas situasi dan kondisi yang darurat dan luar biasa,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.

Baca Juga :  Konflik Rusia - Ukraina, Bagaimana Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Mahasiswa asal  Papua di Rusia.

Perppu itu menunjukkan semangat dan komitmen untuk mengatasi persoalan yang luar biasa berat, dengan cara luar biasa. Menurut dia, sinyal bahwa pemerintah memahami persoalan dan punya langkah antisipasi yang terukur itulah yang dibutuhkan publik dan pasar.

Namun, tentu kebijakan itu perlu aturan turunan yang detail dan implementasi yang konsisten dan efektif di lapangan. ‘’Pandemi Covid-19 ternyata membangun daya imajinasi dan melahirkan kreativitas baru tentang tata kelola pemerintahan,’’ tambah Yustinus.

Beberapa pokok gagasan yang penting dalam Perppu adalah pelebaran defisit untuk mengantisipasi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar, penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran, penambahan pengeluaran, penggunaan dari SAL dan sumber lain yang dimiliki negara, menerbitkan Surat Utang Negara, menetapkan sumber pembiayaan lain, memberikan pinjaman kepada LPS, melakukan refocussing/realokasi/pemotongan/penundaan anggaran tertentu, dan penyederhanaan mekanisme.

‘’Khusus untuk bidang perpajakan, menurut saya juga sudah cukup responsif. Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22 persen untuk Tahun Pajak 2020,’’ tuturnya.

Pemajakan atas kegiatan PMSE, baik PPN maupun PPh, juga cukup beralasan, baik dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi. Meski, lanjut dia, di tataran implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif, dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD yang akan dituntaskan.

Perpanjangan jangka waktu permohonan/penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. ‘’Ini akan mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, mengurangi risiko penularan covid-19, memberi kelonggaran dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan,’’ tuturnya.

Hal penting lainnya adalah komitmen pemerintah mengevaluasi insentif yang telah diberikan dan akan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan. ‘’Saya memuji kemauan mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak,’’ imbuh dia.

Hal itu adalah kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan/penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cashflow perusahaan dan individu.

Keuangan dan Perbankan

Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Bank Indonesia (BI) diperbolehkan memberikan pinjaman atau pembiayaan likuiditas (bailout) khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan. Maupun, yang tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek. Baik berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh pemerintah maupun keputusan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan).

Baca Juga :  Intan Jaya Mulai Kondusif Pasca Kontak Tembak

Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo berharap bailout tidak perlu dilakukan dan terjadi. Dia yakin kondisi perbankan di Indonesia masih mampu bertahan di tengah tekanan wabah Covid-19.

Melalui peraturan darurat mitigasi Covid-19 tersebut BI juga diizinkan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. Namun, Perry menegaskan langkah tersebut bukan bagian dari bailout. Namun, sebagai upaya membantu pemerintah membiayai penanganan stabilitas keuangan yang terdampak wabah virus korona.

”Pembelian SBN di pasar perdana adalah sebagai the last resort (jalan terakhir). BI melakukan itu lantaran kapasitas pasar tidak dapat menyerap seluruh SBN yang diterbitkan pemerintah. Antara lain karena yield (imbal hasil) tinggi dan tidak rasional,” tegas pria asal Sukoharjo itu.

Perry mendukung penerbitan aturan (Perppu Nomor 1 Tahun 2020). Mengingat, kondisi saat ini extraordinary circumtance.  Dialami secara global, tidak hanya Indonesia saja. Sehingga dibutuhkan extraordinary measure berupa relaksasi perundangan untuk memitigasi dampak Covid-19 sebagai landasan langkah antisipatif BI bersama pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, BI diberi kewenangan tambahan tersebut untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan akibat pandemi virus korona. ”Beberapa perluasan kewenangan bagi BI, pada dasarnya adalah dalam rangka membantu pemerintah untuk pembiayaan dalam situasi extraordinary sekaligus menjaga stabilitas sistem keuangan,” jelas perempuan yang akrab disapa Ani.

BI juga diberi kewenangan untuk membeli (repo) surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tujuannya, untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan bank selain bank sistemik.

Dukungan juga disampaikan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah atas penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Peraturan tersebut memberikan tambahan kewenangan bagi LPS. Antara lain, menjamin simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan peruntukannya dengan nilai tertentu. Kemudian, mempersiapkan lebih awal bersama OJK menangani bank yang mengalami masalah solvabilitas (kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya).

Selanjutnya, memilih metode resolusi bank selain bank sistemik yang tidak hanya mempertimbangkan biaya paling rendah (least cost test). Selain itu, perluasan sumber pendanaan untuk penanganan bank gagal yang diperkirakan mengalami kesulitan likuiditas. Baik melalui penjualan repo SBN yang dimiliki BI, penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain maupun pemerintah. (mar/dee/han/JPG)

Pemerintah Keluarkan Perppu Redam Dampak Covid-19

JAKARTA, Jawa Pos – Pemerintah terus mencari upaya untuk memitigasi dampak Covid-19. Salah satunya dengan menerbitkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.

Kemarin (2/4), pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Yasonna H Laoly menyerahkan perppu tersebut ke DPR untuk dilakukan pembahasan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pandemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan. Namun juga berpotensi besar menciptakan krisis ekonomi dan krisis keuangan. Sehingga pemerintah menyiapkan langkah ekstra untuk mencegah timbulnya krisis tersebut. ’’Dalam rangka itulah perppu ini hadir,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.    

Disampaikan, perppu difokuskan bagi penyelamatan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat Covid-19. Sehingga anggaran bidang kesehatan menjadi prioritas. Selain itu juga disiapkan stimulus sektor ekonomi untuk membantu dunia usaha dan UMKM.

Di bidang kesehatan, ada tambahan anggaran Rp 75 triliun. Dana tersebut, jelas Sri Mulyani, dipergunakan untuk tambahan pembelian alat-alat kesehatan termasuk alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Pihaknya juga akan meng-upgrade 132 rumah sakit yang menjadi rujukan pasien Covid-19 di seluruh Indonesia.

Anggaran Rp 75 triliun juga termasuk untuk insentif bagi tenaga medis. Perinciannya, insentif dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan. Dokter umum Rp 10 juta per bulan dan perawat Rp 7,5 juta. Selain itu, ada juga santunan kematian seluruh tenaga medis yang gugur sebesar Rp 300 juta per orang.

“Dana ini akan disalurkan melalui BNPB sebagai koordinator gugus tugas penanganan Covid-19,” papar Sri Mulyani.

Ketua DPR Puan Maharani mengatakan semua pihak harus bersinergi dalam memitigasi persebaran virus korona. Disampaikan, DPR memang mengingatkan pemerintah agar menyiapkan Perppu untuk mengakomodir program-program yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan publik. Mulai dari perlindungan sosial, melindungi kelompok masyarakat rentan serta menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi. ’’Perppu ini segera kami bahas sesuai mekanisme di alat kelengkapan dewan,” jelas Puan Maharani.

Sementara itu, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menuturkan, penerbitan Perppu tersebut membawa angin segar di tengah badai Covid-19. ‘’Cukup komprehensif, holistik, fokus, dan terukur. Perppu ini sangat jelas dan kuat menunjukkan respon cepat dan tepat atas situasi dan kondisi yang darurat dan luar biasa,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.

Baca Juga :  Konflik Rusia - Ukraina, Bagaimana Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Mahasiswa asal  Papua di Rusia.

Perppu itu menunjukkan semangat dan komitmen untuk mengatasi persoalan yang luar biasa berat, dengan cara luar biasa. Menurut dia, sinyal bahwa pemerintah memahami persoalan dan punya langkah antisipasi yang terukur itulah yang dibutuhkan publik dan pasar.

Namun, tentu kebijakan itu perlu aturan turunan yang detail dan implementasi yang konsisten dan efektif di lapangan. ‘’Pandemi Covid-19 ternyata membangun daya imajinasi dan melahirkan kreativitas baru tentang tata kelola pemerintahan,’’ tambah Yustinus.

Beberapa pokok gagasan yang penting dalam Perppu adalah pelebaran defisit untuk mengantisipasi kebutuhan pembiayaan yang lebih besar, penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran, penambahan pengeluaran, penggunaan dari SAL dan sumber lain yang dimiliki negara, menerbitkan Surat Utang Negara, menetapkan sumber pembiayaan lain, memberikan pinjaman kepada LPS, melakukan refocussing/realokasi/pemotongan/penundaan anggaran tertentu, dan penyederhanaan mekanisme.

‘’Khusus untuk bidang perpajakan, menurut saya juga sudah cukup responsif. Apa yang direncanakan di Omnibus Law Perpajakan, ditarik ke depan agar segera memberi dampak bagi wajib pajak, maka tarif PPh Badan diturunkan menjadi 22 persen untuk Tahun Pajak 2020,’’ tuturnya.

Pemajakan atas kegiatan PMSE, baik PPN maupun PPh, juga cukup beralasan, baik dari sisi fairness maupun perluasan basis pajak seiring pemanfaatan platform itu selama pandemi. Meski, lanjut dia, di tataran implementasi perlu dipikirkan mekanisme yang efektif, dan keselarasannya kelak dengan global framework OECD yang akan dituntaskan.

Perpanjangan jangka waktu permohonan/penyelesaian terkait administrasi perpajakan juga sangat dinanti, baik bagi Fiskus maupun Wajib Pajak. ‘’Ini akan mendukung kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, mengurangi risiko penularan covid-19, memberi kelonggaran dan menjamin kredibilitas penyelesaian permohonan atau administrasi perpajakan,’’ tuturnya.

Hal penting lainnya adalah komitmen pemerintah mengevaluasi insentif yang telah diberikan dan akan memperluas ke sektor-sektor lain yang terdampak, di luar industri pengolahan. ‘’Saya memuji kemauan mendengarkan dan mengikuti saran pertimbangan banyak pihak,’’ imbuh dia.

Hal itu adalah kabar baik karena pandemi ini telah menimbulkan dampak luar biasa ke hampir semua sektor usaha. Relaksasi berupa PPh 21 dan PPh 25 ditanggung pemerintah, pembebasan/penundaan pemungutan bea masuk dan PPh 22 impor, dan percepatan restitusi PPN akan sangat membantu cashflow perusahaan dan individu.

Keuangan dan Perbankan

Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Bank Indonesia (BI) diperbolehkan memberikan pinjaman atau pembiayaan likuiditas (bailout) khusus kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan. Maupun, yang tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek. Baik berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh pemerintah maupun keputusan KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan).

Baca Juga :  Perbaiki Peringkat

Meski demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo berharap bailout tidak perlu dilakukan dan terjadi. Dia yakin kondisi perbankan di Indonesia masih mampu bertahan di tengah tekanan wabah Covid-19.

Melalui peraturan darurat mitigasi Covid-19 tersebut BI juga diizinkan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. Namun, Perry menegaskan langkah tersebut bukan bagian dari bailout. Namun, sebagai upaya membantu pemerintah membiayai penanganan stabilitas keuangan yang terdampak wabah virus korona.

”Pembelian SBN di pasar perdana adalah sebagai the last resort (jalan terakhir). BI melakukan itu lantaran kapasitas pasar tidak dapat menyerap seluruh SBN yang diterbitkan pemerintah. Antara lain karena yield (imbal hasil) tinggi dan tidak rasional,” tegas pria asal Sukoharjo itu.

Perry mendukung penerbitan aturan (Perppu Nomor 1 Tahun 2020). Mengingat, kondisi saat ini extraordinary circumtance.  Dialami secara global, tidak hanya Indonesia saja. Sehingga dibutuhkan extraordinary measure berupa relaksasi perundangan untuk memitigasi dampak Covid-19 sebagai landasan langkah antisipatif BI bersama pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, BI diberi kewenangan tambahan tersebut untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan akibat pandemi virus korona. ”Beberapa perluasan kewenangan bagi BI, pada dasarnya adalah dalam rangka membantu pemerintah untuk pembiayaan dalam situasi extraordinary sekaligus menjaga stabilitas sistem keuangan,” jelas perempuan yang akrab disapa Ani.

BI juga diberi kewenangan untuk membeli (repo) surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tujuannya, untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik dan bank selain bank sistemik.

Dukungan juga disampaikan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah atas penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Peraturan tersebut memberikan tambahan kewenangan bagi LPS. Antara lain, menjamin simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan peruntukannya dengan nilai tertentu. Kemudian, mempersiapkan lebih awal bersama OJK menangani bank yang mengalami masalah solvabilitas (kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya).

Selanjutnya, memilih metode resolusi bank selain bank sistemik yang tidak hanya mempertimbangkan biaya paling rendah (least cost test). Selain itu, perluasan sumber pendanaan untuk penanganan bank gagal yang diperkirakan mengalami kesulitan likuiditas. Baik melalui penjualan repo SBN yang dimiliki BI, penerbitan surat utang, pinjaman kepada pihak lain maupun pemerintah. (mar/dee/han/JPG)

spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img
spot_img
spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img