Mengupas Isi Diskusi Soal Hutan Mangrove di Teluk Yotefa, Dulu, Kini dan Nanti
Memiliki luas kawasan 1.809,21 Hektar, kawasan Teluk Yotefa terlihat indah dipandang dari kejauhan. Tapi jangan dari dekat. Banyak sampah dan memprihatinkan.
Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura
Ditunjuk sebagai Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) pada 9 Juni tahun 1978 oleh menteri pertanian dan ditetapkan sebagai TWA pada27 Desember 2012, kondisi Teluk Yotefa terus mengalami degradasi dalam hal ekosistem. Kondisi perairan dan pantai yang dulunya menjadi dapur bagi masyarakat kampung Entros, Tobati dan Nafri, kini perlahan-lahan rusak. Masalahnya tak lain karena persoalan sampah, abrasi, limbah dan sendimentasi.
Sampah memang tergolong limbah namun yang dimaksud adalah limbah cair seperti logam berat maupun amoniak selain berbentuk sampah. Dalam event Youtefa Beautiful Festival dibarengi dengan kegiatan kampanye penyelamatan hutan mangrove. Mangrove di tiga kampung ini dianggap penting karena menjadi mal, menjadi dapur bagi tiga dusun tadi. Di hutan mangrove menyediakan banyak hal mulai dari ikan, kerang hingga kayu yang bisa dipakai untuk kayu bakar.
Selain itu ada kearifan lain yang menguatkan keberadaan hutan mangrove yakni hutan perempuan atau yang disebut tonotwiyat. Hutan yang harusnya steril dari aktifitas lain selain yang dilakukan oleh kaum perempuan. Lokasi sakral yang tak boleh dimasuki oleh laki laki. Jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi adat. Hanya saja kekayaan ini perlahan-lahan justru melahirkan tetesan air mata. Hutan mangrove terus rusak akibat sampah, sendimen dan limbah ditambah ikan yang semakin sulit diperoleh. Dari diskusi yang menghadirkan kepala Kepala Kmapung Engros, Orgenes Meraudje, Kepala BBKSDA Papua, Edward Sembiring, Kepala KPH Kota Jayapura, Yohanis Huik dan akademisi, DR Selfi Tebay dikupas beberapa persoalan dan solusinya.
Berbicara masalah utama yakni sampah, Edward Sembriring bahkan terkaget kaget karena pernah menemukan sampah kulkas maupun helm. Ia bingung darimana asal sampah tersebut. “Saya melihat teluk ini menjadi tempat sampah yang sangat besar sebab dari semua sampah pemukiman di hulu mengalir kesini. Tahun lalu kami menemukan helm, kulkas dan saya bingung kenapa kulkas bisa masuk,” cerita Edward. Dampak lainnya kata dia, mama-mama pergi ke hutan perempuan menangis karena hutan yang dulu berubah.
Kini penuh sampah. Ia menyarankan pemilahan sampah dari hulu menjadi penting. “Harus membiasakan melakukan pemilahan sebab disini semua sampah ada. Kasihan karena tak hanya menggangu lingkungan tetapi juga berdampak pada manusia,” bebernya. Kepala Kampung, Orgenes Meraudje menyebut sejatinya tak hanya kulkas tapi ada juga sapi yang mati dan terdampar hingga ke teluk. “Ada ikan yang juga dibuang dari pasar termasuk sapi yang membusuk dan kami yang dapat dampaknya,” ujar Orgenes.
Ia menyebut perda sudah ada namun penegakannya yang lemah. “Kami tak mau bikin demo tapi kami ingin ada ketegasan sebab kami ibarat itik mati di kolam air atau tikus mati di lumbung padi,” ucapnya. “Kalau kami mau protes mending kami tutup kali Abe dengan karang sekalian agar air hanya berputar di sekitar Abe ketimbang kami yang mampus. Ada juga yang mengatakan ikan mulai tercemar dan ini bahaya sekali. Bisa-bisa pendapatan dan mata pencarian kami terganggu sebab income kampung hanya dua sektor. Perikanan kelautan dan pariwisata. Kalau salah satu tidak jalan bisa-bisa mempengaruhi semua. Pencemaran di teluk semakin berat dan kami tak bisa berbuat banyak,” tambahnya.
Pembahasan soal ancaman hutan mangrove semakin kuat setelah Kepala KPH Kota, Yohanis Huik juga menjelaskan soal kondisi yang sama. “10 tahun lalu saya masuk ke teluk dan ketika itu hutan lebat. Tapi saat ini banyak yang dibuka dan sampah lagi. Sampah nyata merusak ekosistem di teluk,” bebernya. Persoalan lainnya adalah abrasi dan perambahan hutan lindung termasuk pendangkalan akan terus terjadi. “Itu (pendangkalan) sejak tahun 2000 dan sudah cukup parah kondisi sampah di teluk ini. Saya juga melihat ada bentuk perambahan sepanjang jalan dari Ciberi hingga Holtekam dan saya ingatkan bahwa ada status hutan lindung dan TWA sehingga jangan sampai ada pembangunan sebab jika ada pembangunan tanpa pinjam pakai maka akan berhadapan dengan hukum,” tegasnya.
Masyarakat diingatkan tidak membangun di kawasan hutan lindung maupun kawasan konservasi. Sementara DR Selvy Tebay menyampaikan bahwa persoalan Teluk Yotefa tak bisa lihat satu sisi tetapi perlu mengkaji keterkaitan teluk dengan lahan di atas sebab ini juga yang menyebabkan sampah terus masuk. “Teluk harus dikelola secara terpadu. Tak bisa hanya teluknya saja,” katanya. Dari kajiannya ia menyebut Teluk Yotefa memiliki tipe dengan muara yang namanya Close system yang agak tertutup pintu masuknya dan bila tipenya semi close maka akan banyak yang lebih terperangkap.
Apakah itu sendimentasi ataupun sampah. “Bentuknya seperti botol dimana mulutnya kecil tapi perutnya besar saya pikir butuh pengelolaan tak hanya di dalam,” sarannya. Lalu soal abrasi ia menyarankan untuk melihat kajian apakah bisa digunakan mangrove atau tanaman jenis lain. Sampah kata Selfi adalah impact dari masalah yang sudah ada sebelumnya. Ia menyinggung RTRW Kota Jayapura, master plan dan perencanaan membangun kota. “Apakah ada master plan membangun juga dari pesisir. Lalu saya melihat penyimpangan RTRW yang sudah terjadi dalam pola ruang di Kota Jayapura,” jelasnya.
Ia menyarankan dibuatkan analisis stakeholder yang berkaitan denan pengelolaan teluk. Dengan demikian satu persatu soal bisa diinventarisir. “Jadi jangan sporadis, berjalan sendiri – sendiri. Solusinya duduk bersama dan menganalisis stakeholder bahkan provinsi juga perlu turut serta,” imbuhnya. Iapun menceritakan bahwa tahun 2005-2006 pihaknya melakukan melihat kedalaman teluk. Da ternyata Teluk Yotefa dianggap sangat dangkal. Yang paling dalam hanya di bawah gunung Mer. Iapun mewanti jika sendimentasi tak bisa ditahan dan pembukaan lahan di atas terus terjadi maka bisa jadi daerah yang dangkal dengan tipe semi close ini akan menimbulkan sendimentasi yang luas biasa.
“Saya pikir sendimen serta sampah masuk maka akan terus mengancam teluk sehingga analis stakeholder bisa menjadi solusi,” imbuhnya. (*/wen)