Mengikuti Jejak Ayah di Lapangan Hijau (2)
Semula tak setuju sang anak main bola, Bahar Muharram lantas mendidik Asnawi Mangkualam dengan sangat keras. Pesannya cuma satu: main bola yang bersih, jangan kayak bapak dulu sering cederai orang tanpa tujuan.
FARID S. MAULANA, Surabaya, Jawa Pos
KETIKA sang istri hamil anak kedua, Bahar Muharram berharap si jabang bayi berjenis kelamin perempuan. Bukan karena dia tak suka memiliki anak laki-laki. Tapi, lebih karena khawatir.
”Kalau cowok, pasti dia akan disuruh main bola karena dikaitkan dengan bapaknya. Saya takut itu membebani dia seumur hidup,” kata Bahar, bek kanan legendaris PSM Makassar.
Namun, apa yang dia takutkan ternyata menjadi kenyataan. Pada 4 Oktober 1999, sang istri, Fatmawati Razak, melahirkan seorang bayi lelaki. Bahar pun memilih nama berbau Jawa: Asnawi Mangkualam. Itu bagian dari sumpahnya untuk tak menyandangkan namanya kepada sang anak. Alasannya apa lagi kalau tidak untuk melindungi si buyung, menjauhkan dia dari bayang-bayang sang ayah.
Namun, Bahar yang turut membawa PSM meraih gelar Perserikatan 1991–1992 hanya bisa berharap. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Tumbuh besar di dalam keluarga dengan ayah dan paman sama-sama pesepak bola tenar, Asnawi akhirnya juga mencintai sepak bola. Ya, Ansar Razak, gelandang PSM yang seangkatan Bahar, adalah kakak ibunda Asnawi. Ansar meninggal dalam kecelakaan lalu lintas pada tahun 1998.
Saat Asnawi mulai bergabung di SSB (sekolah sepak bola) pun, Bahar tetap tak mendukung. Persoalannya, bakat sepak bola Asnawi kentara sekali. Sulit bagi Bahar tak mengindahkannya. Namun, dia masih bersikukuh untuk tak mendukung. Sampai kemudian, Asnawi dipanggil untuk seleksi tim nasional (timnas) Indonesia U-15. Dan, Bahar adalah asisten Liestiadi, pelatih kepala tim tersebut.
”Saya juga tidak sampaikan ke Liestiadi bahwa Asnawi anak saya. Asnawi juga saya larang ngomong. Akhirnya, dia gugur tidak terpilih,” kenangnya, lantas tertawa. Asnawi sempat protes. ”Saya bilang, ’Kau tidak terpilih karena saya saja tidak suka, apalagi pelatih lain’,” katanya.
Namun, momen itu mulai mengubah sikap Bahar. Dia bersedia melatih satu-satunya anak lelaki dari tiga buah hatinya tersebut setelah melihat keseriusannya. Tapi tentu, ada syarat yang harus dilaksanakan sang anak. Asnawi harus mau berlatih keras setiap hari tanpa mengeluh.
Setiap hari dua sesi latihan wajib dilakukan dalam kondisi apa pun: sebelum berangkat sekolah dan sepulang sekolah. ”Kalau tidak mau, saya bilang ke dia untuk sekolah saja. Meski begini, bapak mampu membiayai sampai setinggi yang dia mau,” ujarnya.
Asnawi setuju. Bahar pun sedikit ”memberi angin surga” agar sang anak bersemangat. ”Saya bilang, ’Kalau kamu taati semua aturan bapak, saya akan bawa kamu ikut seleksi timnas U-16’,” tegas Bahar yang berada di Makassar ketika dihubungi Jawa Pos dari Surabaya pada Sabtu (13/3).
Pria bertinggi badan 175 sentimeter itu akhirnya antusias dilatih sang bapak. Bahar juga tak segan-segan ”menampar” anaknya jika tak serius latihan. ”Dia anak mama. Kalau mengadu latihan keras dari saya, selalu ke ibunya. Kenapa? Kalau protes ke saya, saya tampar lagi,” kenangnya, lalu melepas tawa.
Bahar adalah tipikal pemain asli Makassar: keras tanpa kompromi. Agus Sarianto, mantan bintang Niac Mitra dan Mitra Surabaya, mengatakan betapa ”mengerikannya” setiap hendak melawat ke Makassar, baik pada masa Galatama maupun Liga Indonesia. Bagaimana Bima Sakti, mantan kapten Indonesia, mengenang Ansar Razak, koleganya di timnas, juga bisa mewakili karakter para pemain Makassar atau Sulawesi Selatan secara umum.
”Almarhum bermain tanpa kompromi dalam setiap pertandingan. Sewaktu masih bermain di Pelita, jika berhadapan dengan PSM, saya pasti waswas kalau bertemu (alm) Ansar Razak,” ujar Bima seperti dikutip dari situs The Maczman, kelompok pendukung PSM.
Ketekunan Asnawi membuahkan hasil. Dia lolos seleksi timnas U-16. ”Itu usaha Asnawi sendiri. Saya bohong kepadanya. Saya tidak pernah perkenalkan Asnawi sebagai anak saya ketika seleksi,” jelas Bahar, lantas tertawa.
Meski sudah menyandang predikat pemain timnas, Bahar tetap tidak mau sang anak bermain di PSM walau kesempatan tersebut terbuka lebar. Kebetulan, Bahar merupakan asisten Robert Rene Alberts, pelatih PSM, pada tahun 2016.
Dari timnas, Asnawi merantau ke Persiba Balikpapan setengah musim. Pelatih PSM Robert Rene Alberts sempat tertarik merekrut Asnawi saat timnya bertemu Persiba. Namun, Bahar secara tegas menolak. ”Alberts kaget kenapa saya tidak masukkan Asnawi ke PSM. Saya bilang tidak mau karena pasti suporter akan memaki Asnawi kalau main buruk karena dia anak Bahar,” ungkap Bahar.
Sebagai pemain yang menghabiskan karier di PSM, dia tahu betul garangnya karakter pendukung tim berjuluk Juku Eja tersebut. Dan, bila Asnawi menjadi korban perundungan pada usia semuda itu, Bahar khawatir karier sang anak layu sebelum berkembang. ”Saya bilang ke Alberts, biar Asnawi berkembang dulu,” terangnya.
Alberts murka. Dia tak peduli dengan alasan Bahar. Pelatih asal Belanda itu ingin, pada musim 2017, Asnawi harus menjadi anak asuhnya di Juku Eja. ”Saya kasih ultimatum ke Alberts bahwa kepindahan Asnawi ini adalah murni permintaannya, bukan saya,” tegas Bahar yang mulai membela PSM sejak 1987.
Pada musim 2017, Asnawi akhirnya berseragam PSM. ”Saya bilang ke Asnawi, ’Di sini kau sekarang diuji punya mental. Kau harus siap dicaci kalau main buruk. Kalau mau dipuji, ya harus kerja keras. Jangan manfaatkan nama saya’,” pintanya.
Asnawi membenarkan sang ayah memang mendidiknya sangat keras. ”Pertengahan musim 2017, ayah baru mengumumkan kepada publik (bahwa saya anaknya),” katanya ketika dihubungi terpisah.
Tiga musim berseragam PSM, Asnawi berhasil membuktikan diri. Gelandang lugas dengan daya jelajah tinggi meski kadang masih sulit mengontrol emosi. Khas para defensive midfielder jebolan PSM. Di antaranya, Ansar Razak dan Syamsul Chaeruddin.
Asnawi turut mengantar PSM menjuarai Piala Indonesia 2019. Trofi pertama Juku Eja sejak gelar Ligina nyaris dua dekade silam.
Asnawi tumbuh tanpa sedikit pun privilese dari sang bapak. Dia tak cuma mendapat tempat di klub, tetapi juga di timnas usia muda hingga senior. Buntutnya, Asnawi menjadi pemain pertama Indonesia yang berkarier di Korea Selatan. Bersama klubnya musim ini, Ansan Greeners FC.
Ketika melepas Asnawi ke Ansan Greeners, Bahar mengingatkan sang anak agar tak membuat malu. Harus serius berprestasi di Korsel. ”Sebenarnya saya ini berat melepas dia. Terutama ibunya. Sebab, anak mama dia. Sampai SMA saja, masih antar jemput ibunya,” ungkapnya.
Namun, demi karier sang anak, dia harus ikhlas. ”Saya ingatkan. Jangan pulang sebelum ada prestasi yang ditunjukkan,” tuturnya.
Bahar menyatakan, sepanjang karier Asnawi, hanya satu pesan yang diberikannya: main sepak bola yang bersih dan fair. Dia tak ingin sang anak meniru jejaknya dulu ketika masih bermain bola yang sering bikin cedera orang tanpa tujuan. ”Itu yang saya larang untuk Asnawi. Jangan pernah berniat mencederai orang. Fokus saja agar diberkati Tuhan di dalamnya,” tegas Bahar.
Yang tak kuasa dia larang adalah ketika Asnawi yang semula bermain sebagai gelandang bertahan diubah menjadi bek kanan oleh pelatihnya di timnas, Indra Sjafri. Posisi yang sebenarnya dihindari Asnawi karena tak mau dikaitkan dengan sang bapak yang dulu berposisi sama. Posisi yang juga tak diharapkan Bahar karena kian menambah kekhawatiran sang putra terus dibanding-bandingkan dengan dirinya.
Namun, Bahar mungkin sekarang sudah berdamai bahwa apa saja yang dikhawatirkannya terhadap sang anak sejak jabang bayi ternyata malah menjadi kenyataan. Dan, ternyata sang anak lebih dari sekadar baik-baik saja. (*/c14/ttg/JPG)