26.7 C
Jayapura
Wednesday, October 4, 2023

Ilmu Takkan Berguna tanpa Keberanian Buka Suara

Arief Budiman, Setengah Abad setelah Soe Hok Gie…

Arief Budiman berpulang setelah sekitar 10 tahun bertarung melawan parkinson. Aktivis pembela wong cilik dan dosen yang tak cuma kuat secara teori, tapi juga memperlihatkan keberanian moral.

DHINAR S., Salatiga

K. ULUM-Z. HIKMIA, Jakarta

…betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata ’’Ya’’ atau ’’Tidak’’, meskipun cuma dalam hati.

Arief Budiman dalam ’’Catatan Seorang Demonstran’’

ANDREAS Harsono masih ingat betul pesta pernikahan itu. Hajatan yang kemudian ramai jadi sorotan media.

Tuan rumah hajatan itu Arief Budiman, dosen yang baru saja dipecat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, karena menentang pemilihan rektor yang dinilainya cacat. Sejumlah kawan Arief yang jadi panitia pun memberi tajuk gelaran itu ’’Tuna Karya Mantu’’.

’’Ketika giliran Jaya Suprana memberi sambutan, dengan bercanda dia mengatakan, Arief Budiman ini orang yang penuh ironi. Mosok tunakarya (tak punya pekerjaan) bisa selenggarakan resepsi semeriah ini,’’ kenang Andreas ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (23/4).

Hadirin pun, lanjut Andreas, ketika itu langsung gerrr. Arief dan sang istri, Leila Chairani, juga hanya tertawa ketika keesokan harinya ’’Tuna Karya Mantu’’, hajatan untuk menikahkan putri mereka, jadi judul di berbagai koran.

Dipecat dari kampus hingga akhirnya harus hijrah ke Australia untuk mengajar, bahkan sebelumnya juga pernah dipenjara. Semua onak itu harus dilewati Arief sebagai konsekuensi pilihannya meniti jalan pedang sebagai aktivis.

Dan, menurut Andreas, gelegak aktivisme sosiolog kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941, itu kian menggelora setelah sang adik, Soe Hok Gie, berpulang saat mendaki Gunung Semeru pada 16 Desember 1969. ’’Dari semula suka sastra dan filsafat, jadi lebih mengerti Gie, terlibat aktivisme,’’ tulis Andreas, seorang jurnalis sekaligus peneliti hak asasi manusia, dalam cuitannya.

Pada 1973, bersama sejumlah kawan, penulis buku Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende itu menginisiasi golongan putih (golput) sebagai tandingan untuk Golkar, mesin politik Orde Baru, rezim yang sebenarnya dia bantu melahirkannya. Setahun sebelumnya, dia juga ditahan karena menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, proyek yang diprakarsai Tien Soeharto.

Mundur satu dekade sebelumnya, Arief yang masih duduk di bangku mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ikut meneken Manifesto Kebudayaan yang vis a vis dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ikut menandatangani manifesto yang diejek sebagi ’’manikebu’’ itu, antara lain, Goenawan Mohammad dan Taufiq Ismail.

Anggota DPR RI Hendrawan Supratikno menyebut Arief sebagai intelektual pejuang yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan nasib wong cilik. Dia selalu mengkritisi strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang cenderung kapitalistik.

Baca Juga :  Cocok untuk Kirim Vaksin Covid-19 ke Daerah Pelosok

Dia juga memperkenalkan teori-teori struktural seperti Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan. Kritiknya yang tajam terhadap gagasan Sistem Perekonomian Pancasila yang dicetuskan Mubyarto juga sangat mendasar. ’’Beliau pro dengan sistem ekonomi sosialisme,’’ terangnya.

Hendrawan menyebutkan, dirinya kenal dengan Arief sejak awal 1981. Dan, semakin dekat sejak dirinya menjadi dosen di Fakultas Ekonomi UKSW. Pada 1986–1993, dia mempunyai banyak kegiatan bersama Arief.

Misalnya, mendirikan kantor konsultan manajemen dan psikologi bersama Arief dan istrinya, Leila, yang merupakan seorang psikolog. Arief-lah yang membuka akses relasi bersama Budhi Dharmawan, adik Kwik Kian Gie. Selain itu, dia dan Arief bersama-sama memperkuat program studi pembangunan di UKSW.

Arief, kata Hendrawan, adalah figur yang rendah hati, sederhana, dan selalu mendukung mahasiswanya. Dia sering meminjamkan buku-buku bermutu kepada anak didiknya.

Arief juga senang membuka akses relasi kepada para dosen junior sehingga orbit relasi para junior semakin luas. ’’Beliau juga salah satu cendekiawan yang membuat Salatiga tambah dikenal dan disegani di kancah nasional maupun internasional,’’ tuturnya.

Arief memang terlahir dari keluarga yang dekat dengan buku atau kegiatan tulis-menulis. Ayahnya, Soe Lie Piet, pernah menjadi redaktur di sejumlah koran dan majalah. Telah pula melahirkan sejumlah buku.

Seperti Hendrawan, Andreas juga mengaku mendapat banyak bahan bacaan bermutu dari Arief. Andreas mulai mengenal ayah dua anak tersebut pada 1984 saat kuliah di UKSW. Ketika itu Arief telah menjadi dosen dan mendirikan jurusan studi pembangunan di sana sepulangnya dari Harvard University untuk menyelesaikan studi doktoral. ’’Dia tentu saja jadi dosen bintang. Banyak jadi panutan mahasiswa Salatiga,’’ tuturnya.

Arief tidak hanya kuat secara teori. Dia juga menunjukkan keberanian moral. Dia berani buka suara untuk mengatakan apa yang benar. Arief juga tak tergoda dengan kekuasaan: uang, ketenaran, jabatan.’’Bagi Arief, ilmu takkan berguna tanpa keberanian buat buka suara. Dia memberi contoh itu, laku moral yang baik,’’ tuturnya.

Ada salah satu peristiwa yang paling dikenang Andreas tentang Arief dan keberaniannya. Pada 1994, Arief dipecat dari kampus karena sengkarut pemilihan rektor. Dia bersuara, mengkritik pemilihan rektor oleh yayasan. ’’Walau belakangan UKSW minta maaf kepada Arief,’’ ungkapnya.

Hal itu kemudian berakibat pada nasibnya yang susah mendapat pekerjaan di sini. Tapi, bukan Arief namanya jika menyerah. Pada 1997, dia pindah kerja di Melbourne University sampai pensiun pada 2007.

Andreas mengenal sosok Arief lebih dekat ketika dirinya berkawan dengan sejumlah sosok yang dekat dengannya. Di antaranya, Abdurrahman Wahid, Daniel Dhakidae, Goenawan Mohamad, Mustofa Bisri, Sobron Aidit, Umar Said, hingga Y.B. Mangunwijaya.

Baca Juga :  Jadikan Injil Sebagai Pedoman Hidup

’’Saya jadi mengerti riwayat hidup dia, termasuk ketika ikutan Manikebu, lantas adiknya Soe Hok Gie meninggal pada 1969,’’ tutur penulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia tersebut.

Dalam esainya yang termaktub di buku Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian (2018), Goenawan Mohamad menulis bahwa Arief dan Gie jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. ’’Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban,’’ tulis Goenawan.

Dunia pergaulan Arief berbeda dengan Soe Hok Gie. Kalau Gie kerap digambarkan dengan tiga kata: buku, pesta, dan cinta, Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi, dan Trisno Sumardjo. ’’Dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,’’ tulis Goenawan lebih lanjut dalam tulisannya.

Dinginnya relasi kedua kakak adik itu juga tampak di awal-awal catatan pengantar Arief di Catatan Seorang Demonstran. Melihat jenazah adiknya yang terbungkus plastik setelah meninggal karena gas beracun di puncak Mahameru, Arief menulis, ’’Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu.’’

Gie, yang pernah gamang akan jalan pilihannya sebagi aktivis karena dia anggap tak menghadirkan perubahan, sebelumnya memang sempat menunjukkan sebuah surat dari seorang kawan di Amerika Serikat kepada sang kakak. Yang intinya mengatakan, ’’Seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu.’’

Namun, dua peristiwa menyadarkan Arief bahwa perjuangan sang adik menyuarakan apa yang diyakininya benar itu ternyata tak sia-sia. Seorang penjual peti mati menangis saat tahu peti mati itu disiapkan untuk Gie. Dan, seorang pilot angkatan udara menyebut Gie akan bisa berbuat lebih banyak lagi seandainya masih hidup.

Dari sana, Arief merasa matanya terbuka bahwa ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seseorang yang secara jujur dan berani melawan semua itu, dia akan mendapat dukungan tanpa banyak suara dari banyak orang. Maka, di dekat peti mati sang adik saat bersiap melanjutkan perjalanan dengan pesawat menuju Jakarta, Arief menulis, ’’Gie kamu tidak sendirian.’’

Dan, tiga dekade lewat setelah menulis eulogi itu, penyakit parkinson yang telah menderanya selama 10 tahun terakhir akhirnya mengantarkan Arief menyusul sang adik. Kemarin, di usia 79 tahun, setelah sekitar seminggu di rumah sakit.

Mungkin di sana kakak beradik itu tak akan lagi berusaha menjauh. Bakal lebih sering bertemu, bakal lebih sering berbincang. (*/c5/ttg/JPG)

Arief Budiman, Setengah Abad setelah Soe Hok Gie…

Arief Budiman berpulang setelah sekitar 10 tahun bertarung melawan parkinson. Aktivis pembela wong cilik dan dosen yang tak cuma kuat secara teori, tapi juga memperlihatkan keberanian moral.

DHINAR S., Salatiga

K. ULUM-Z. HIKMIA, Jakarta

…betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata ’’Ya’’ atau ’’Tidak’’, meskipun cuma dalam hati.

Arief Budiman dalam ’’Catatan Seorang Demonstran’’

ANDREAS Harsono masih ingat betul pesta pernikahan itu. Hajatan yang kemudian ramai jadi sorotan media.

Tuan rumah hajatan itu Arief Budiman, dosen yang baru saja dipecat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, karena menentang pemilihan rektor yang dinilainya cacat. Sejumlah kawan Arief yang jadi panitia pun memberi tajuk gelaran itu ’’Tuna Karya Mantu’’.

’’Ketika giliran Jaya Suprana memberi sambutan, dengan bercanda dia mengatakan, Arief Budiman ini orang yang penuh ironi. Mosok tunakarya (tak punya pekerjaan) bisa selenggarakan resepsi semeriah ini,’’ kenang Andreas ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (23/4).

Hadirin pun, lanjut Andreas, ketika itu langsung gerrr. Arief dan sang istri, Leila Chairani, juga hanya tertawa ketika keesokan harinya ’’Tuna Karya Mantu’’, hajatan untuk menikahkan putri mereka, jadi judul di berbagai koran.

Dipecat dari kampus hingga akhirnya harus hijrah ke Australia untuk mengajar, bahkan sebelumnya juga pernah dipenjara. Semua onak itu harus dilewati Arief sebagai konsekuensi pilihannya meniti jalan pedang sebagai aktivis.

Dan, menurut Andreas, gelegak aktivisme sosiolog kelahiran Jakarta, 3 Januari 1941, itu kian menggelora setelah sang adik, Soe Hok Gie, berpulang saat mendaki Gunung Semeru pada 16 Desember 1969. ’’Dari semula suka sastra dan filsafat, jadi lebih mengerti Gie, terlibat aktivisme,’’ tulis Andreas, seorang jurnalis sekaligus peneliti hak asasi manusia, dalam cuitannya.

Pada 1973, bersama sejumlah kawan, penulis buku Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende itu menginisiasi golongan putih (golput) sebagai tandingan untuk Golkar, mesin politik Orde Baru, rezim yang sebenarnya dia bantu melahirkannya. Setahun sebelumnya, dia juga ditahan karena menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, proyek yang diprakarsai Tien Soeharto.

Mundur satu dekade sebelumnya, Arief yang masih duduk di bangku mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ikut meneken Manifesto Kebudayaan yang vis a vis dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ikut menandatangani manifesto yang diejek sebagi ’’manikebu’’ itu, antara lain, Goenawan Mohammad dan Taufiq Ismail.

Anggota DPR RI Hendrawan Supratikno menyebut Arief sebagai intelektual pejuang yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan nasib wong cilik. Dia selalu mengkritisi strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang cenderung kapitalistik.

Baca Juga :  Jadikan Injil Sebagai Pedoman Hidup

Dia juga memperkenalkan teori-teori struktural seperti Teori Dependensia atau Teori Ketergantungan. Kritiknya yang tajam terhadap gagasan Sistem Perekonomian Pancasila yang dicetuskan Mubyarto juga sangat mendasar. ’’Beliau pro dengan sistem ekonomi sosialisme,’’ terangnya.

Hendrawan menyebutkan, dirinya kenal dengan Arief sejak awal 1981. Dan, semakin dekat sejak dirinya menjadi dosen di Fakultas Ekonomi UKSW. Pada 1986–1993, dia mempunyai banyak kegiatan bersama Arief.

Misalnya, mendirikan kantor konsultan manajemen dan psikologi bersama Arief dan istrinya, Leila, yang merupakan seorang psikolog. Arief-lah yang membuka akses relasi bersama Budhi Dharmawan, adik Kwik Kian Gie. Selain itu, dia dan Arief bersama-sama memperkuat program studi pembangunan di UKSW.

Arief, kata Hendrawan, adalah figur yang rendah hati, sederhana, dan selalu mendukung mahasiswanya. Dia sering meminjamkan buku-buku bermutu kepada anak didiknya.

Arief juga senang membuka akses relasi kepada para dosen junior sehingga orbit relasi para junior semakin luas. ’’Beliau juga salah satu cendekiawan yang membuat Salatiga tambah dikenal dan disegani di kancah nasional maupun internasional,’’ tuturnya.

Arief memang terlahir dari keluarga yang dekat dengan buku atau kegiatan tulis-menulis. Ayahnya, Soe Lie Piet, pernah menjadi redaktur di sejumlah koran dan majalah. Telah pula melahirkan sejumlah buku.

Seperti Hendrawan, Andreas juga mengaku mendapat banyak bahan bacaan bermutu dari Arief. Andreas mulai mengenal ayah dua anak tersebut pada 1984 saat kuliah di UKSW. Ketika itu Arief telah menjadi dosen dan mendirikan jurusan studi pembangunan di sana sepulangnya dari Harvard University untuk menyelesaikan studi doktoral. ’’Dia tentu saja jadi dosen bintang. Banyak jadi panutan mahasiswa Salatiga,’’ tuturnya.

Arief tidak hanya kuat secara teori. Dia juga menunjukkan keberanian moral. Dia berani buka suara untuk mengatakan apa yang benar. Arief juga tak tergoda dengan kekuasaan: uang, ketenaran, jabatan.’’Bagi Arief, ilmu takkan berguna tanpa keberanian buat buka suara. Dia memberi contoh itu, laku moral yang baik,’’ tuturnya.

Ada salah satu peristiwa yang paling dikenang Andreas tentang Arief dan keberaniannya. Pada 1994, Arief dipecat dari kampus karena sengkarut pemilihan rektor. Dia bersuara, mengkritik pemilihan rektor oleh yayasan. ’’Walau belakangan UKSW minta maaf kepada Arief,’’ ungkapnya.

Hal itu kemudian berakibat pada nasibnya yang susah mendapat pekerjaan di sini. Tapi, bukan Arief namanya jika menyerah. Pada 1997, dia pindah kerja di Melbourne University sampai pensiun pada 2007.

Andreas mengenal sosok Arief lebih dekat ketika dirinya berkawan dengan sejumlah sosok yang dekat dengannya. Di antaranya, Abdurrahman Wahid, Daniel Dhakidae, Goenawan Mohamad, Mustofa Bisri, Sobron Aidit, Umar Said, hingga Y.B. Mangunwijaya.

Baca Juga :  Cocok untuk Kirim Vaksin Covid-19 ke Daerah Pelosok

’’Saya jadi mengerti riwayat hidup dia, termasuk ketika ikutan Manikebu, lantas adiknya Soe Hok Gie meninggal pada 1969,’’ tutur penulis buku Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Suharto Indonesia tersebut.

Dalam esainya yang termaktub di buku Arief Budiman (Soe Hok Djin): Melawan Tanpa Kebencian (2018), Goenawan Mohamad menulis bahwa Arief dan Gie jarang bicara satu sama lain jika bertemu di antara orang banyak. ’’Mereka saling menjauh, tampak tak ingin ada keakraban,’’ tulis Goenawan.

Dunia pergaulan Arief berbeda dengan Soe Hok Gie. Kalau Gie kerap digambarkan dengan tiga kata: buku, pesta, dan cinta, Arief lebih banyak bergaul dengan perupa seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi, dan Trisno Sumardjo. ’’Dan kemudian dengan saya, Rendra, dan penulis lain,’’ tulis Goenawan lebih lanjut dalam tulisannya.

Dinginnya relasi kedua kakak adik itu juga tampak di awal-awal catatan pengantar Arief di Catatan Seorang Demonstran. Melihat jenazah adiknya yang terbungkus plastik setelah meninggal karena gas beracun di puncak Mahameru, Arief menulis, ’’Tentunya sepi dan dingin terbungkus dalam plastik itu.’’

Gie, yang pernah gamang akan jalan pilihannya sebagi aktivis karena dia anggap tak menghadirkan perubahan, sebelumnya memang sempat menunjukkan sebuah surat dari seorang kawan di Amerika Serikat kepada sang kakak. Yang intinya mengatakan, ’’Seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu.’’

Namun, dua peristiwa menyadarkan Arief bahwa perjuangan sang adik menyuarakan apa yang diyakininya benar itu ternyata tak sia-sia. Seorang penjual peti mati menangis saat tahu peti mati itu disiapkan untuk Gie. Dan, seorang pilot angkatan udara menyebut Gie akan bisa berbuat lebih banyak lagi seandainya masih hidup.

Dari sana, Arief merasa matanya terbuka bahwa ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seseorang yang secara jujur dan berani melawan semua itu, dia akan mendapat dukungan tanpa banyak suara dari banyak orang. Maka, di dekat peti mati sang adik saat bersiap melanjutkan perjalanan dengan pesawat menuju Jakarta, Arief menulis, ’’Gie kamu tidak sendirian.’’

Dan, tiga dekade lewat setelah menulis eulogi itu, penyakit parkinson yang telah menderanya selama 10 tahun terakhir akhirnya mengantarkan Arief menyusul sang adik. Kemarin, di usia 79 tahun, setelah sekitar seminggu di rumah sakit.

Mungkin di sana kakak beradik itu tak akan lagi berusaha menjauh. Bakal lebih sering bertemu, bakal lebih sering berbincang. (*/c5/ttg/JPG)

spot_img
spot_img

Artikel Terkait

spot_img
spot_img
spot_img

Terpopuler

spot_img

Artikel Terbaru

spot_img