*Dr. Anthon Raharusun, SH.MH: Seharusnya Plt Bupati Mimika Diberhentikan Sementara
JAYAPURA-Setelah sebelumnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura menghentikan perkara tindak pidana Korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa Johanes Rettob dan Silvia Herawati. Kini Jaksa penutut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Papua (Kejati) kembali mendakwakan Plt Bupati Mimika itu dengan perkara yang sama. Sidang utama pembacaan dakwaanpun mulai digelar di Pengadilan Negeri Jayapura, Selasa (6/6) kemarin.
Pada dakwaan kali ini JPU mendakwa Plt Bupati Mimika terkait perkara tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dimana didalam dakwaan yang dibacakan oleh JPU diruang sidang di PN Jayapura.
Kedua terdakwa tidak hanya melanggar tindak pidana korupsi atas pengadaan Helicopter Airbus H-125, tetapi juga secara sengaja tidak mengurus kewajiban pabean atas 1 (satu) unit Helicopter Airbus H-125 yang sejak awal dibeli tanpa melalui mekanisme dan proses pengadaan barang atau jasa pemerintah sehingga mengakibatkan hilangnya hak kepemilikan dan penguasaan aset Pemerintah Kabupaten Mimika dari Helicopter Airbus H-125 tersebut.
Padahal Helicopter tersebut dibeli dengan menggunakan APBD Kabupaten Mimika Tahun Anggaran 2015 senilai Rp.42.318.716.550,00 (empat puluh dua miliar tiga ratus delapan belas juta tujuh ratus enam belas ribu lima ratus lima puluh rupiah). Atas hal itulah JPU menilai tindakan para terdakwa telah merugikan Keuangan Negara.
Dakwaan ini merupakan Laporan Hasil Audit Investigasi Penghitungan Kerugian Keuangan Negara oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Tarmizi Achmad dengan Nomor, rwgister 00176/2.0604/AP.7/09/0430/1/XI/2022 per tanggal 11 November 2022 lalu.
JPU pun dalam dakwaanya menuntut atas perbuatannya Johanes Rettob dituntut dengan UU tindak pidana pemberantasan Korupsi, sebagaimana yang telah dirubah dan ditambah dengan UU Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi junto pasal 55 ayat 1 KUHP.
Menanggapi hal itu Penasehat Hukum (PH) para terdakwa, Iwan Kurniawan Niode, menyatakan langkah JPU dalam mendakwakan kembali kedua kliennya itu sanggat keliru. Pasalnya dari kajian mereka (PH) terhadap dakwaan JPU ada hal prinsip yang dilanggar oleh JPU.
Terutama terkait proses pembuatan surat dakwaan. Sebab nomor registrasi pada surat dakwaan yang kedua ini berbeda dengan nomor regitrasi pertama. Adapun nomor register perkara pada dakwaan pertama kata dia yakni Nomor 03, sementara register dakwaan kedua Nomor 09. Dengan perbedaan ini, pihaknya menganggap dakwaan JPU saat ini bukan lanjutan atas perkara sebelumnya. Tetapi dakwaan kali ini merupakan perkara baru yang didakwakan kepada Johes Rettob dan Silvia Herawati.
Selain karena nomor registrasinya berbeda pertimbangan lain dari PH Johenes Rettob , karena Majelis hakim yang memimpin sidang pada perkara kali ini juga berbeda.
Adapun Majelis Hakim yang memimpin sidang pada dakwaan sebelumnya antara lain Hakim Ketua Willem Marco Erari SH MH bersama hakim anggota Donald E Malubaya SH dan Nova Claudia De Lima SH. Sementara sidang kali ini di pimpin oleh Hakim Ketua Thobias Benggian, SH. Hakim Anggota Linn Carol Hamadi, SH dan Hakim Anggota Andi Asmuruf, SH, MH.
“Kalau kemudian perkara yang ini merupakan lanjutan perkara sebelumnya, harusnya register dan pemimpin sidangnya tidak boleh berubah, namun karena adanya perubahan, maka kami menanggap dakwaan kedua ini bukan lanjutan perkara yang kemarin, tapi ini perkara baru,” kata PH Rettob di PN Jayapura.
Oleh karena perubahan ini mereka (PH) Johanes Rettob pun meminta kepada majelis hakim agar perkara yang kedua ini harus ada putusan sela, sebab dakwaan yang dibacakan oleh JPU terhadap kedua kliennya itu tidak masuk dalam keputusan Mahkama Konstitusi (MK), yang menyebut apabila ada putusan sela yang membatalkan suatu perkara, dan perkara tersebut dilanjutkan maka harus adanya putusan akhir.
“Kami menganggap bahwa dakwaan JPU terhadap klien kami kali ini tidak sesuai dengan keputusan MK, oleh sebab itu dalam eksepsi kami pada saat sidang kali ini, kami minta kepada majelis hakim agar perkara ini harus ada putusan sela,” tegas Iwan.
Apalagi lanjut dia dalam eksepsi yang mereka ajukan menyangkut Ne Bis In Idem atau perkara dengan obyek, para pihak dan materi pokok perkara yang sama. Sebab perkara ini sudah diputuskan oleh majelis hakim sebelumnya, hanya saja menurut dia, pada dakwaan kali ini JPU hanya menghilangkan beberapa dakwaan sebelumnya, namun sebagian besar dakwaan yang baru masih menyangkut perkara yang sama.
Selain itu spirindik perkara, dimana menurut dia pada dakwaan perkara kali ini JPU mendakwakan para terdakwa menyangkut perkara KKN bukan perkara Tipikor, oleh sebab itu pihaknya menegaskan eksespsi mereka terhadap sprindik perkara ini harus dipertimbangkan oleh majelis hakim.
“Sekali lagi kami tegaskan ini adalah dakwaan baru, bukan dakwaan lanjutan, oleh sebab itu kami minta kepada majelis hakim, dakwaan ini harus ada putusan selannya,” tandasnya.
Sementara itu Dr. Anthon Raharusun, SH.MH selaku Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Biak sekaligus Ketua DPC Peradi Suara Advokat Indonesia Kota Jayapura (DPC Peradi SAI) menerangkan, sesuai ketentuan pasal 83 ayat 1 dan 2. Dimana Kepala Daerah diberhentikan sementara karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun.
Misalnya lanjut Anthon, terkait tindak pidana korupsi, terorisme, makar dan tindak pidana terhadap keamanan negara sudah semestinya diberhentikan sementara.
“Semestinya JR sudah diberhentikan sementara dari jabatannya ketika perkara yang sedang bergulir ini didaftarkan di pengadilan. Sayangnya, kenapa dulu didakwa dan sudah terigstrasi tapi yang bersangkutan tidak diberhentikan. Bahkan, sekarang Jaksa mengajukan lagi dakwaan baru dan lagi lagi yang bersangkutan belum diberhentikan,” tutur Anthon saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Selasa (6/6).
Bahkan kata Anthon, dalam amar putusan sela Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pegadilan Negeri Kelas 1 Jayapura. Dimana amar putusannya mengabulkan keberatan eksepsi penasehat hukum terdakwa untuk sebagian.
Menyatakan Pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jayapura tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara atas nama terdakwa Johannes Retob S.Sos, MM dengan dakwaan kedua melanggar pasal 21 UU nomor 28 tahun 1999. Atau melanggar pasal 22 undang undang nomor 28 tahun 1999.
“Dakwaan itu batal demi hukum, dikarenakan jaksa mendakwa terdakwa JR dengan UU 21 nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme,” terang Anthon kepada Cenderawasih Pos, Senin (5/6).
Menurut Anthon, dakwaan jaksa oleh Hakim Tipikor dalam amar putusannya. Jaksa salah mendakwa, bukan tindak pidana korupsi melainkan yang didakwa adalah mengenai kolusi dan nepotisme.
Sehingga lanjut Anthon, Pengadilan Negeri Jayapura menyatakan tidak boleh ditahan. Sehingga pengadilan mengabulkan sebagian daripada eksepsi penasehat hukum, sepanjang mengenai surat dakwaan sehingga dakwaan itu batal demi hukum.
“Sekarang, sudah terdaftar di Pengadilan Negeri terkait surat pidana korupsi dalam perkara nomor 8. Ini merupakan dakwaan baru yang sedang diajukan oleh jaksa penuntut umum,” ucapnya.
Sementara ayat 2 menyebutkan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di Pengadilan.
“Pemberhentian sementara dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan wakil gubernur, serta oleh mendagri untuk Bupati atau walikota,” ungkapnya.
Terkait dengan itu kata Anthon, sejak JR perkaranya diregistrasi di Pengadilan Tipikor Jayapura. Maka sudah seharusnya JR harus diberhentikan sementara dengan maksud jika suatu ketika dalam proses pengadilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Pengadilan. Sesuai ketentuan pasal 84 paling lama 30 hari setelah diterima pemberitahuan putusan pengadilan, maka dalam hal ini Mendagri mengaktifkan kembali Bupati atau walikota yang tadinya diberhentikan sementara.
Sekarang yang dipertanyakan kata Anthon, mengapa seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak ditahan. Baik pada tingkat penyidik maupun tingkat Pengadilan.
“Ini menandakan aparat penegak hukum belum memiliki pandangan yang sama soal bagaimana pemberantasana tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, sehingga harus dilakukan secara extraordinary termasuk melakukan penahanan. Jika tidak, itu akan menjadi pertanyaan publik. Orang yang jelas jelas diduga melakukan tinda pidana korupsi namun tidak ditahan atau diberhentikan sementara dalam kaitannya sebagai Plt Bupati Mimika,” tuturnya.(rel/fia/wen)