JAKARTA, Jawa Pos – Eks Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M. Romahurmuziy alias Romy mendapat keringanan hukuman. Itu setelah hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengurangi hukuman Romy dari sebelumnya dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan menjadi satu tahun penjara dengan denda yang sama.
Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima salinan putusan tersebut. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengakui putusan di tingkat banding itu memang lebih rendah dari putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. “Namun demikian setiap putusan majelis hakim tentu harus kita hargai dan hormati,” paparnya, kemarin (24/4).
KPK belum memutuskan langkah hukum apa yang akan ditempuh selanjutnya dalam perkara suap seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) itu. Apakah mengajukan kasasi atau menerima putusan hakim. Tim JPU, kata Ali, akan menganalisa pertimbangan putusan tersebut. “Dan segera mengusulkan penentuan sikap berikutnya kepada pimpinan KPK,” terang Ali.
Terpisah, pengacara Romy, Maqdir Ismail menyatakan pihaknya menghormati setiap langkah KPK nantinya. Termasuk mengajukan kasasi. Hanya, Maqdir berharap kliennya segera dibebaskan berdasarkan putusan banding tersebut. Hitung-hitungan Maqdir, Romy telah menjalani masa penahanan hampir satu tahun.
“Mereka (KPK) punya hak untuk kasasi, tapi maksud saya, ya nggak ada dasarnya, nggak ada kepentingannya kalau mereka tetap melakukan penahanan terhadap pak Romy,” ujarnya. Romy ditahan KPK sejak 16 Maret 2019 atau sehari setelah tertangkap tangan petugas komisi antirasuah di Surabaya. Penahanan Romy sempat dibantarkan 45 hari. Maqdir pun memperkirakan pekan depan masa penahanan kliennya selesai.
Sementara itu, vonis terhadap Romy yang dijatuhkan PT DKI Jakarta dinilai kurang sesuai. Masa hukuman yang dikurangi, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) jauh lebih rendah dibanding hukuman yang seharusnya diterima. Malah lebih rendah daripada kasus korupsi pejabat lain yang nilainya tidak sebesar kasus Romy.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyebutkan masa hukuman yang diterima Romy terlalu rendah jika dibandingkan vonis yang umumnya diterima koruptor mantan ketum partai. Antara lain Luthfi Hasan Ishaq (eks Presiden PKS) mencapai 18 tahun penjara, Anas Urbaningrum (eks ketum Partai Demokrat) 14 tahun penjara, Suryadharma Ali (eks ketum PPP) 10 tahun penjara, dan Setya Novanto (eks ketum Golkar) 15 tahun penjara.
Selain itu, dia juga membandingkan dengan salah satu kasus korupsi yang dilakukan kepala desa di Kabupaten Bekasi. Pemerasan Rp 30 juta tersebut mengakibatkan kepala desa tersebut diganjar empat tahun penjara. Vonis Romy yang hanya setahun penjara untuk korupsi sebesar Rp 300 juta pun dianggap mengada-ada.
Putusan terhadap Romy ini, lanjut Kurnia, mengukuhkan semakin lemahnya penanganan kasus korupsi belakangan dengan masa tahanannya yang semakin berkurang. “Catatan ICW sepanjang tahun 2019 rata-rata vonis untuk terdakwa korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara,” jelas Kurnia kemarin.
Dia menambahkan, semestinya vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi bisa lebih berat daripada putusan di tingkat pertama. Sebelumnya, Pengadilan Tipikor memvonis Romy dua tahun penjara pada 22 Januari 2020 lalu. Kurnia juga menegaskan bahwa perlu ada penjelasan juga terkait pencabutan hal politik terpidana dalam putusan tersebut.
Atas vonis yang kurang memuaskan ini, ICW menyarankan agar KPK sebagai penegak hukum yang menangani kasus Romi untuk mengambil langkah hukum selanjutnya. “Kami mendesak agar KPK segera mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung,” tegasnya. (tyo/deb/JPG)