(Oleh: Herny Mebri)
Setahun sebelum digelarnya Pileg dan Pilpres-Cawapres 2019, publik disentakan dengan beredarnya video dokumenter dari Watchdog Image yang diplublikasikan di youtube.
Film dokumenter yang diunggah pada 13 April 2018 ini mendadak menjadi viral dan menjadi perbincangan khalayak ramai. Tidak tanggung-tanggung dengan hype yang sangat tinggi, dokumenter tersebut menembus jumlah penonton hingga melebihi angka 14 juta penonton hanya dalam waktu 5 (lima) hari saja. Reaksi dan tafsiran sontak mulai bermunculan, sikap apatis atau tidak percaya semakin bergelayut dalam benak penonton dokumenter tersebut.
Sedemikian dasyat power dokumenter tersebut, tabir apa sebenarnya dimunculkan dalam film tersebut hingga mampu memainkan emosi para penontonnya.
Sengkarut Oligarki
Dokumenter besutan Dandhy Dwi Laksono ini membeberkan soal bagaimana silang sengkarut perusahaan tambang batu bara menyelimuti para elite yang ada di lingkaran kedua kubu capres-cawapres di pilpres 2019. Sexy Killers, menjadi film produksi babak terakhir diantara film lain dari mereka yang telah produksi beberapa waktu lalu, seperti Samin vs Semen (2015), The Mahuzes (2015), ASYMMETRIC (2018), dan lain-lain.
Film ini menampilkan adanya keterlibatan pejabat dan politisi di sektor pertambangan batu bara. Mereka pada umumnya terlibat secara aktif sebagai komisaris, pemilik saham, dan sebagainya. Keterlibatan merekalah yang seakan-akan menjadi alasan pemerintah tidak menunjukan komitmen kuat terhadap hukum Indonesia. Hal ini menjadi tema besar dalam film dokumenter selain dampak pertambangan batu bara secara umum.
Si “sexy” yang mematikan
Sexy Killers mengungkap keadaan lokasi penambangan batu bara di kawasan Kutai, Kalimantan Timur dimana para petani transmigran yang telah menempati lokasi sejak era Orde Baru kini harus pasrah menanggung kerusakan lahan yang ditenggarai disebabkan oleh aktivitas tambang. Tak hanya polusi udara, krisis air bersih, dan kerusakan bangunan, aktivitas tambang yang bersebelahan dengan pemukiman warga juga meninggalkan lubang galian yang menelan korban jiwa.
Dalam film tersebut menceritakan pula perihal 3500 lubang bekas galian batu bara di Kalimantan Timur. Aturan mengharuskan bahwa semuanya itu direklamasi atau ditutup kembali. Pada kenyataannya tidak demikian, karena tentu saja perusahan akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk itu. Antisipasi terhadap kerusakan lingkungan kerap abai diperhatikan. Suatu kelalaian atau kesengajaan yang berdampak besar bagi masyarakat kecil.
Kisah diangkat mulai dari kesulitannya sejumlah warga di Kalimantan Timur dalam mendapatkan air bersih, setelah ekspansi pertambangan batu bara dimulai. Seperti Nyoman, salah satu warga transmigran yang mengaku aliran air ke lahan pertaniannya terblokir oleh perusahaan batu bara.
Belum lagi dampak dari lubang bekas pertambangan yang belum direklamasi. Berada di sekitar pemukiman warga, lubang tersebut telah merenggut 115 nyawa sepanjang 2014 sampai 2018.
Masih dalam film yang sama, fakta lain menunjukan pembangunan PLTU di kawasan konservasi perairan laut Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang kaya akan ikan dan terumbu karang. Dibangun pada tanah seluas 226 hektar, PLTU Batang menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Uap terbesar di Asia Tenggara. Hal tersebut juga berdampak pada lahan pertanian dan perkebunan yang juga termakan oleh pembangunan proyek tersebut.
Sebagian besar pasokan energi listrik bersumber dari PLTU dengan bahan bakar utamanya adalah batu bara. Keberadaan perusahan-perusahan tambang batu bara menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan ini, yang dicita-citakan sebesar 35000 watt oleh Presiden Jokowi pada paruh pertama pemerintahannya. Pembangkit listrik jenis ini dipandang sebagai salah satu pembangkit listrik dengan biaya murah, dibandingkan dengan PLTS atau dengan bahan bakar minyak bumi.
Hal yang tidak bisa terhindarkan dari pertambangan batu bara adalah soal kerusakan lingkungan hidup, ketidakadilan terhadap masyarakat, dan beragam soal krusial lainnya seperti munculnya penyakit karena udara yang terpolusi. Slowly but sure Ekternalitas yang ditimbulkan berdampak negatif, masif dan mematikan. What a sexy killers!!
Golput dan Rasionalitas
Siapapun yang menonton dokumenter ini pasti akan merasakan kekecewaan terhadap pemerintahan atau bahkan kepada negara. Kita bisa menebak betapa absurdnya negara, seperti juga merasa betapa absurdnya demokrasi itu. Sebuah sistem pemerintahan yang semula diimpikan akan mengutamakan rakyat, berakhir dengan keuntungan di pihak penguasa atau pengusaha. Apalagi ketika dua komponen terakhir ini saling bersetubuh. “Siapa yang bisa kita percayai?” tanya seorang teman selepas menyaksikan dokumenter tersebut. Jawaban yang terdengar kemudian hanya sebuah dengung.
Sexy Killers menampilkan dengan begitu berani perusahan-perusahan tambang batu bara yang ada dan siapa saja yang memiliki koneksi dengan bisnis-bisnis tersebut. Dalam keseluruhan film justru diperlihatkan bahwa keempat putra ‘terbaik’ bangsa yang ingin menang di pemilu tahun ini, memiliki koneksi tertentu di bidang perusahan pertambangan, secara langsung atau pun tidak.
Kekawatiran terbesar dari tersebarnya film ini adalah akan membludaknya jumlah para golongan putih (golput). Ada anggapan akan mempengaruhi pemilih mengambang (swing
voters/undecided voters). Jumlah pemilih mengambang ini diperkirakan 25% dari total
pemilih. Warga pemilih yang kritis akan menilai dokumenter tersebut dengan memahami posisi
yang memang berbeda.Namun kekhawatiran tersebut ternyata tidak sepenuhnya mutlak terjadi. Hal ini sudah terbukti pada perayaan demokrasi secara serentak di 17 April lalu. Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) memaparkan perbedaan angka golput antara pilpres dan pileg dari hasil hitung cepatnya.
Hasilnya, golput pilpres ditaksir mencapai 19,27 persen dan pileg 30,05 persen (18/4/2019).
Bukan angka yang rendah memang, tapi bukan pula menunjukan signifikansi golput yang besar dibandingkan penyelenggaraan Pilpres di 2014 silam dengan angka perolehan tingkat golput mencapai 24,89 persen (KPU:2014).
Saya justru memahami bahwa Sexy Killers telah memberikan suatu alasan yang sangat rasional untuk tidak memilih salah satu dari kedua calon atau memilih keduanya sekaligus. Artinya, jika para pemilih di tahun politik tidak selalu bisa memberikan alasan rasional untuk memilih atau sebaliknya menuduh kaum tertentu (juga golput) sebagai yang irasional, dokumenter ini justru memberikan jawaban yang sangat rasional atas tuduhan tersebut.
Kecuali itu, hal yang tampak jelas dari Sexy Killers adalah ajakan untuk tidak menjadi pemuja buta terhadap dua calon. Bahwa dengan menonton film ini anda menjadi golput atau malah memilih salah satu dari kedua calon, semuanya itu menjadi hak anda. Hal yang patut diingat adalah memuja berlebihan antara kedua calon ini tampak merupakan suatu tindakan absurd.
Untuk hal ini kiranya dokumenter itu memberikan alasan yang sangat rasional.
*) Penulis adalah ASN Kota Jayapura – Mahasiswi Pascasarjana Fisipol UGM
Jogjakarta Jurusan Magister Administrasi Publik dan Pegiat MAP Corner-Klub MKP
UGM Jogjakarta.